Takmir di Kota Surabaya menolak politisasi masjid karena dianggap tidak sesuai dengan peran dan fungsi masjid serta dapat menyebabkan perpecahan umat, bahkan mereka memiliki strategi menangkal politisasi masjid. Politisasi masjid hukumnya haram, karena banyak menimbulkan kemafsadatan dan kemadharatan, seperti perpecahan umat dan banyaknya ujaran kebencian. Kenapa politisasi agama di masjid diharamkan? Berikut hasil kajian lapangan yang dilakukan dua akademisi, Moh Makmun dan Mahmud Huda yang dikutip dari Jurnal Politik Profetik Volume 7, No. 1 Tahun 2019.
Mengaitkan politik dan agama (Islam) bukan persoalan gampang bahkan sering menimbulkan problematika tersendiri, misalnya politik bersifat keduniaan dan profan sementara agama bersifat akhirat yang sakral. Menurut Ali Abdur Raziq, Islam adalah agama yang menyeru kepada ke-Esaan Tuhan. Islam tidak memiliki karakter politik, karena ia hanya seruan suci agar manusia mengabdi kepada Allah, bersaudara dengan yang lain dalam rangka pengabdian kepada-Nya serta sebuah panggilan untuk perdamaian dunia.
Ali Abdur Raziq berpandangan, Islam tidak menetapkan satu bentuk pemerintahan tertentu. Memberikan kebebasan bentuk sistem pemerintahan dan negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial, ekonomi dan zaman serta perkembangannya. Islam tidak memiliki keterkaitan sedikitpun dengan sistem pemerintahan, termasuk sistem kekhilafahan.
Ali Abdur Raziq juga menceritakan bagaimana agama dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan pada masa kekhalifahan, antara lain seperti Yazid Ibn Mu’awiyah karena kecintaannya atas jabatan Khalifah, dia tidak segan menumpahkan darah Husain Ibn Ali Ibn Thalib dan memporak-porandakan Madinah, Abu Abbas as-Saffah berubah menjadi seorang yang haus darah disebabkan kaitannya terhadap jabatan khalifah, padahal pertumpahan darah tersebut adalah darah sesama muslim.
Era demokrasi saat ini, perdebatan tidak hanya mengarah pada bentuk pemerintahan dan negara melainkan pada upaya strategi menarik simpati masyarakat sebagai pemilik suara dalam gelaran pemilihan umum. Salah satu tempat yang strategis untuk mencari suara adalah masjid, dengan beragam aktivitas kegiatan-kegiatannya para politisi mencoba untuk mendekatinya.
Kasus politisasi agama di masjid yang mencolok terjadi di DKI Jakarta pada saat Pemilihan Gubernur tahun 2017. Masjid menjadi sarana efektif yang digunakan oleh beberapa oknum takmir, oknum tokoh agama dan oknum politisi untuk mengumpulkan jama’ah dengan dalih pengajian umum. Mirisnya, ternyata di dalam pengajian tersebut disusupi upaya mendukung salah satu calon kepala daerah, bahkan ada juga takmir yang sampai tidak mau menshalati jenazah akibat perbedaan pilihan politik.
Dari hasil kajian lapangan yang dilakukan dua akademisi, Moh Makmun dan Mahmud Huda, takmir masjid di Kota Surabaya bisa dibilang sangat berbeda jauh dengan takmir masjid di DKI Jakarta yang membiarkan masjid dipakai untuk kampanye politik praktis pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Kebijakan takmir masjid di Kota Surabaya lebih bagus karena melarang kegiatan politik praktis masuk ke masjid ataupun melarang isi khutbah dan pengajian yang bernada menyudutkan dan merendahkan kelompok lain, ataupun yang berisi ujaran kebencian dan provokasi. Pelarangan kegiatan politik praktis di masjid itu merupakan bentuk kebijakan yang dibenarkan berdasarkan tinjauan fiqh siyasah. Hal tersebut sesuai dengan beberapa kaidah fiqh siyasah yang berbunyi:
Berdasarkan kaidah fiqh siyasah tersebut, apa yang dilakukan oleh takmir masjid harus berlandaskan pada kemaslahatan masjid dan kemaslahatan jama’ah. Apabila ada takmir dalam mengelola masjid menimbulkan perpecahan antar jama’ah, atau ada jama’ah setelah selesai ikut pengajian di masjid menjadi pribadi yang gemar mengkafirkan, menyalahkan dan membuat keributan, maka takmir tersebut sudah menyalahi kaidah di atas. Takmir juga tidak boleh bertentangan dengan shariat Islam dan tidak boleh mendatangkan mafsadah (kerusakan, kemadharatan) bagi masjid dan jama’ah.
Setiap kebijakan yang membawa mashlahah bagi masjid dan jama’ah, itulah yang harus direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dievaluasi. Sebaliknya, setiap kebijakan yang mendatangkan mafsadah dan madharat harus disingkirkan dan dijauhi. Upaya takmir yang lebih menekankan aspek persatuan atau ukhuwah Islamiyah, dengan membuat kebijakan bahwa isi kajian dan ceramah ataupun khutbah tidak boleh menyinggung, mengkritisi dan menyalahkan pendapat mazhab fiqh yang lain adalah merupakan perwujudan dari penerapan kaidah fiqh siyasah yang berbunyi:
الخُرُوجُ مِنَ الخِلَافِ مُسْتَحَبٌ
“Keluar dari perbedaan pendapat adalah disenangi”
Memanfaatkan masjid untuk menyebarkan kebencian dan menumbuhkan rasa takut, sama halnya dengan menabur benih rusak ke dalam tanah yang subur. Alih-alih mengharapkan benih tersebut tumbuh dengan baik, yang terjadi bisa saja membuat tanah yang ada menjadi tidak produktif dan hasilnya mengecewakan semua pihak. Takmir dalam menjalankan manajemen ketakmirannya, perlu mempraktikkan kaidah ini agar apa yang diputuskan demi kepentingan masjid dan jama’ah menjadi kepentingan yang disepakati dan dijalankan oleh semua pihak. Meskipun dalam proses pembuatan kebijakan tersebut terdapat perbedaan pendapat, namun semuanya bermuara pada kemaslahatan masjid dan jama’ah.
Karena itu, takmir masjid di Surabaya melarang penceramah mengunggulkan salah satu mazhab fiqh atau merendahkan mazhab fiqh yang lain. Hal ini dilakukan untuk menghindari perecahan umat Islam, terlebih hal tersebut masih bersifat khilafiyah yang masing-masing imam mazhab memiliki landasan dan dalil hukumnya. Kaidah ini berdasarkan Sabda Nabi Saw., yang artinya “Maka barang siapa menjaga diri dari syubhat (seperti perbedaan pendapat misalnya), maka ia telah mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya”.
Kebijakan takmir masjid di Kota Surabaya dalam menolak adanya politisasi masjid sudah sejalan dengan kaidah fiqh yang berbunyi: “Perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain lebih utama daripada hanya terbatas untuk kepentingan sendiri.” المتعدى أفضل من القاصر
Selain kaidah fiqh siyasah, pelarangan politisasi masjid juga mengacu pada tindakan Nabi Muhammad Saw. terhadap masjid Dhirar. Masjid Dhirar didirikan oleh sekawanan orang munafik dari penduduk Madinah yang jumlahnya dua belas orang. Mereka mendirikan masjid dengan tujuan menimbulkan kemadharatan pada masjid dan orang mukmin, untuk menguatkan kekafiran orang munafik, serta bertujuan memecahbelah jama’ah kaum mukminin, sebagaimana Firman Allah SWT.:
وَالَّذِينَ اتَََّّذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَ فْرِيقًا ب يََْْ الْمُ ؤْمِنِيَْ وَإِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِن قَ بْلُ
Hal ini dapat dilihat pada awal Islam, kaum muslimin shalat di satu masjid, yaitu masjid Quba. Namun karena ada masjid baru, akhirnya terpecah menjadi dua, Masjid Quba dan Masjid Dhirar. Orang-orang yang mendirikan masjid Dhirar ingin mendapatkan kesempatan menyebarkan syubhat, menghasut, menfitnah dan memecah belah shaf kaum mukminin. Mengetahui kemadharatan Masjid Dhirar, akhirnya Nabi Muhammad Saw., mengutus Malik bin Dukhsyum saudara Bani Salim dan Ma’an bin Adi agar pergi ke masjid yang didirikan oleh orang-orang dzalim (masjid Dhirar) untuk menghancurkan dan membakar masjid tersebut. Kemudian lokasi bekas bangunan masjid Dhirar dijadikan tempat pembuangan sampah dan bangkai binatang. Demikian akhir dari masjid yang didirikan atas dasar kemunafikan dan niat yang tidak baik, niat untuk memecah belah umat Islam, melakukan propaganda-propaganda yang memicu permusuhan di antara sesama muslim.
Ketidaksetujuan takmir masjid di Kota Surabaya atas adanya politisasi masjid juga sejalan dengan pasal 280 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang berbunyi: "Pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang: a. Mempersoalkan dasar negara Pancasila, pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. Melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain; d. Menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat; e. Mengganggu ketertiban umum; f. Mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau peserta Pemilu yang lain; g. Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye Peserta Pemilu; h. Menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan; i. Membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan; j. Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye pemilu.”
Islam menyeru kepada penyebaran kedamaian di muka bumi, larangan melakukan kerusakan di muka bumi atau melakukan tindakan yang tidak adil karena didasari kebencian sepihak. Apabila terdapat oknum kelompok pemuka agama, oknum khatib maupun oknum penceramah yang melakukan kerusakan di muka bumi dengan jalan provokasi, ujaran kebencian, adu domba, melakukan ketidakadilan, melakukan kekerasan dan melakukan caci-maki serta hujatan, maka sebenarnya mereka ini telah menyalahi ajaran Islam. Apabila terjadi hal yang demikian, maka yang perlu dilakukan adalah dengan cara selalu bijak dalam menyikapi ajakan-ajakan para pemuka agama, khatib atau penceramah dan bila perlu kritis dalam memandang sesuatu yang bertolak belakang dengan nurani dan rasa kemanusiaan. Selain itu, perlunya menghilangkan fanatisme buta terhadap kelompok atau pemuka agama tertentu.
Meski masjid pada masa Nabi Muhammad Saw., digunakan untuk kepentingan negara dan atau politik, sehingga tidak jarang di antara umat Islam yang beralasan membawa politik ke dalam masjid tidak dilarang. Namun demikian, perlu ditandaskan bahwa apa yang dilakukan Nabi Muhammad Saw., pada saat itu berbeda dengan zaman sekarang. Politik yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw., adalah high politics (politik keumatan atau politik kenegaraan), bukan low politics (politik kekuasaan atau kepartaian). Nabi Muhammad Saw., tidak pernah menggunakan masjid untuk melegitimasi kekuasaan, tidak menjadikan masjid untuk mendapatkan kekuasaan, melainkan menggunakan masjid untuk menyelesaikan permasalahan negara, dan permasalahan umat. Sedangkan politisasi masjid zaman sekarang adalah menggunakan masjid untuk mendapatkan kekuasaan. Di sinilah letak perbedaannya, sehingga politisasi masjid haram dilakukan di Kota Surabaya.
Kajian lengkap Moh Makmun dan Mahmud Huda dapat dibaca dalam buku berjudul "Politisasi Masjid". Takmir masjid di Kota Surabaya menolak adanya politisasi masjid karena dianggap tidak sesuai dengan peran dan fungsi masjid serta dapat menyebabkan perpecahan umat. Strategi menangkal politisasi masjid adalah: 1). Membuat visi dan misi masjid. 2). Independen dari mazhab fiqh. 3). Independen dari politik praktis dan kepartaian. 4). Selektif memilih calon penceramah dan Khatib. 5). Membuat aturan isi ceramah dan Khutbah. 6). Memperbanyak kegiatan masjid. 7). Melakukan evaluasi kinerja takmir. 8). Partisipasi jama’ah masjid dalam kontrol dan evaluasi kegiatan. Politisasi masjid hukumnya haram, karena banyak menimbulkan kemafsadatan dan kemadharatan, seperti perpecahan umat dan banyaknya ujaran kebencian.
Mengaitkan politik dan agama (Islam) bukan persoalan gampang bahkan sering menimbulkan problematika tersendiri, misalnya politik bersifat keduniaan dan profan sementara agama bersifat akhirat yang sakral. Menurut Ali Abdur Raziq, Islam adalah agama yang menyeru kepada ke-Esaan Tuhan. Islam tidak memiliki karakter politik, karena ia hanya seruan suci agar manusia mengabdi kepada Allah, bersaudara dengan yang lain dalam rangka pengabdian kepada-Nya serta sebuah panggilan untuk perdamaian dunia.
Ali Abdur Raziq berpandangan, Islam tidak menetapkan satu bentuk pemerintahan tertentu. Memberikan kebebasan bentuk sistem pemerintahan dan negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial, ekonomi dan zaman serta perkembangannya. Islam tidak memiliki keterkaitan sedikitpun dengan sistem pemerintahan, termasuk sistem kekhilafahan.
Ali Abdur Raziq juga menceritakan bagaimana agama dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan pada masa kekhalifahan, antara lain seperti Yazid Ibn Mu’awiyah karena kecintaannya atas jabatan Khalifah, dia tidak segan menumpahkan darah Husain Ibn Ali Ibn Thalib dan memporak-porandakan Madinah, Abu Abbas as-Saffah berubah menjadi seorang yang haus darah disebabkan kaitannya terhadap jabatan khalifah, padahal pertumpahan darah tersebut adalah darah sesama muslim.
Era demokrasi saat ini, perdebatan tidak hanya mengarah pada bentuk pemerintahan dan negara melainkan pada upaya strategi menarik simpati masyarakat sebagai pemilik suara dalam gelaran pemilihan umum. Salah satu tempat yang strategis untuk mencari suara adalah masjid, dengan beragam aktivitas kegiatan-kegiatannya para politisi mencoba untuk mendekatinya.
Kasus politisasi agama di masjid yang mencolok terjadi di DKI Jakarta pada saat Pemilihan Gubernur tahun 2017. Masjid menjadi sarana efektif yang digunakan oleh beberapa oknum takmir, oknum tokoh agama dan oknum politisi untuk mengumpulkan jama’ah dengan dalih pengajian umum. Mirisnya, ternyata di dalam pengajian tersebut disusupi upaya mendukung salah satu calon kepala daerah, bahkan ada juga takmir yang sampai tidak mau menshalati jenazah akibat perbedaan pilihan politik.
Dari hasil kajian lapangan yang dilakukan dua akademisi, Moh Makmun dan Mahmud Huda, takmir masjid di Kota Surabaya bisa dibilang sangat berbeda jauh dengan takmir masjid di DKI Jakarta yang membiarkan masjid dipakai untuk kampanye politik praktis pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Kebijakan takmir masjid di Kota Surabaya lebih bagus karena melarang kegiatan politik praktis masuk ke masjid ataupun melarang isi khutbah dan pengajian yang bernada menyudutkan dan merendahkan kelompok lain, ataupun yang berisi ujaran kebencian dan provokasi. Pelarangan kegiatan politik praktis di masjid itu merupakan bentuk kebijakan yang dibenarkan berdasarkan tinjauan fiqh siyasah. Hal tersebut sesuai dengan beberapa kaidah fiqh siyasah yang berbunyi:
تَصَرُّفُ الاِمَامِ عَلَى الرَّعِيَةِ مَنُوطٌ بِالمصْلَحَةِ
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”
Berdasarkan kaidah fiqh siyasah tersebut, apa yang dilakukan oleh takmir masjid harus berlandaskan pada kemaslahatan masjid dan kemaslahatan jama’ah. Apabila ada takmir dalam mengelola masjid menimbulkan perpecahan antar jama’ah, atau ada jama’ah setelah selesai ikut pengajian di masjid menjadi pribadi yang gemar mengkafirkan, menyalahkan dan membuat keributan, maka takmir tersebut sudah menyalahi kaidah di atas. Takmir juga tidak boleh bertentangan dengan shariat Islam dan tidak boleh mendatangkan mafsadah (kerusakan, kemadharatan) bagi masjid dan jama’ah.
Setiap kebijakan yang membawa mashlahah bagi masjid dan jama’ah, itulah yang harus direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dievaluasi. Sebaliknya, setiap kebijakan yang mendatangkan mafsadah dan madharat harus disingkirkan dan dijauhi. Upaya takmir yang lebih menekankan aspek persatuan atau ukhuwah Islamiyah, dengan membuat kebijakan bahwa isi kajian dan ceramah ataupun khutbah tidak boleh menyinggung, mengkritisi dan menyalahkan pendapat mazhab fiqh yang lain adalah merupakan perwujudan dari penerapan kaidah fiqh siyasah yang berbunyi:
الخُرُوجُ مِنَ الخِلَافِ مُسْتَحَبٌ
“Keluar dari perbedaan pendapat adalah disenangi”
Memanfaatkan masjid untuk menyebarkan kebencian dan menumbuhkan rasa takut, sama halnya dengan menabur benih rusak ke dalam tanah yang subur. Alih-alih mengharapkan benih tersebut tumbuh dengan baik, yang terjadi bisa saja membuat tanah yang ada menjadi tidak produktif dan hasilnya mengecewakan semua pihak. Takmir dalam menjalankan manajemen ketakmirannya, perlu mempraktikkan kaidah ini agar apa yang diputuskan demi kepentingan masjid dan jama’ah menjadi kepentingan yang disepakati dan dijalankan oleh semua pihak. Meskipun dalam proses pembuatan kebijakan tersebut terdapat perbedaan pendapat, namun semuanya bermuara pada kemaslahatan masjid dan jama’ah.
Karena itu, takmir masjid di Surabaya melarang penceramah mengunggulkan salah satu mazhab fiqh atau merendahkan mazhab fiqh yang lain. Hal ini dilakukan untuk menghindari perecahan umat Islam, terlebih hal tersebut masih bersifat khilafiyah yang masing-masing imam mazhab memiliki landasan dan dalil hukumnya. Kaidah ini berdasarkan Sabda Nabi Saw., yang artinya “Maka barang siapa menjaga diri dari syubhat (seperti perbedaan pendapat misalnya), maka ia telah mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya”.
Kebijakan takmir masjid di Kota Surabaya dalam menolak adanya politisasi masjid sudah sejalan dengan kaidah fiqh yang berbunyi: “Perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain lebih utama daripada hanya terbatas untuk kepentingan sendiri.” المتعدى أفضل من القاصر
Selain kaidah fiqh siyasah, pelarangan politisasi masjid juga mengacu pada tindakan Nabi Muhammad Saw. terhadap masjid Dhirar. Masjid Dhirar didirikan oleh sekawanan orang munafik dari penduduk Madinah yang jumlahnya dua belas orang. Mereka mendirikan masjid dengan tujuan menimbulkan kemadharatan pada masjid dan orang mukmin, untuk menguatkan kekafiran orang munafik, serta bertujuan memecahbelah jama’ah kaum mukminin, sebagaimana Firman Allah SWT.:
وَالَّذِينَ اتَََّّذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَ فْرِيقًا ب يََْْ الْمُ ؤْمِنِيَْ وَإِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِن قَ بْلُ
وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الُْْسْنََٰ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِن هَُّمْ لَكَاذِبُونَ
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemadharatan (pada orang-orang Mukmin), untuk kekafiran dan memecah belah antara orang-orang Mukmin serta menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah, ”kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). (QS. al-Taubah: 107)
Hal ini dapat dilihat pada awal Islam, kaum muslimin shalat di satu masjid, yaitu masjid Quba. Namun karena ada masjid baru, akhirnya terpecah menjadi dua, Masjid Quba dan Masjid Dhirar. Orang-orang yang mendirikan masjid Dhirar ingin mendapatkan kesempatan menyebarkan syubhat, menghasut, menfitnah dan memecah belah shaf kaum mukminin. Mengetahui kemadharatan Masjid Dhirar, akhirnya Nabi Muhammad Saw., mengutus Malik bin Dukhsyum saudara Bani Salim dan Ma’an bin Adi agar pergi ke masjid yang didirikan oleh orang-orang dzalim (masjid Dhirar) untuk menghancurkan dan membakar masjid tersebut. Kemudian lokasi bekas bangunan masjid Dhirar dijadikan tempat pembuangan sampah dan bangkai binatang. Demikian akhir dari masjid yang didirikan atas dasar kemunafikan dan niat yang tidak baik, niat untuk memecah belah umat Islam, melakukan propaganda-propaganda yang memicu permusuhan di antara sesama muslim.
Ketidaksetujuan takmir masjid di Kota Surabaya atas adanya politisasi masjid juga sejalan dengan pasal 280 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang berbunyi: "Pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang: a. Mempersoalkan dasar negara Pancasila, pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. Melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain; d. Menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat; e. Mengganggu ketertiban umum; f. Mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau peserta Pemilu yang lain; g. Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye Peserta Pemilu; h. Menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan; i. Membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan; j. Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye pemilu.”
Islam menyeru kepada penyebaran kedamaian di muka bumi, larangan melakukan kerusakan di muka bumi atau melakukan tindakan yang tidak adil karena didasari kebencian sepihak. Apabila terdapat oknum kelompok pemuka agama, oknum khatib maupun oknum penceramah yang melakukan kerusakan di muka bumi dengan jalan provokasi, ujaran kebencian, adu domba, melakukan ketidakadilan, melakukan kekerasan dan melakukan caci-maki serta hujatan, maka sebenarnya mereka ini telah menyalahi ajaran Islam. Apabila terjadi hal yang demikian, maka yang perlu dilakukan adalah dengan cara selalu bijak dalam menyikapi ajakan-ajakan para pemuka agama, khatib atau penceramah dan bila perlu kritis dalam memandang sesuatu yang bertolak belakang dengan nurani dan rasa kemanusiaan. Selain itu, perlunya menghilangkan fanatisme buta terhadap kelompok atau pemuka agama tertentu.
Meski masjid pada masa Nabi Muhammad Saw., digunakan untuk kepentingan negara dan atau politik, sehingga tidak jarang di antara umat Islam yang beralasan membawa politik ke dalam masjid tidak dilarang. Namun demikian, perlu ditandaskan bahwa apa yang dilakukan Nabi Muhammad Saw., pada saat itu berbeda dengan zaman sekarang. Politik yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw., adalah high politics (politik keumatan atau politik kenegaraan), bukan low politics (politik kekuasaan atau kepartaian). Nabi Muhammad Saw., tidak pernah menggunakan masjid untuk melegitimasi kekuasaan, tidak menjadikan masjid untuk mendapatkan kekuasaan, melainkan menggunakan masjid untuk menyelesaikan permasalahan negara, dan permasalahan umat. Sedangkan politisasi masjid zaman sekarang adalah menggunakan masjid untuk mendapatkan kekuasaan. Di sinilah letak perbedaannya, sehingga politisasi masjid haram dilakukan di Kota Surabaya.
Kajian lengkap Moh Makmun dan Mahmud Huda dapat dibaca dalam buku berjudul "Politisasi Masjid". Takmir masjid di Kota Surabaya menolak adanya politisasi masjid karena dianggap tidak sesuai dengan peran dan fungsi masjid serta dapat menyebabkan perpecahan umat. Strategi menangkal politisasi masjid adalah: 1). Membuat visi dan misi masjid. 2). Independen dari mazhab fiqh. 3). Independen dari politik praktis dan kepartaian. 4). Selektif memilih calon penceramah dan Khatib. 5). Membuat aturan isi ceramah dan Khutbah. 6). Memperbanyak kegiatan masjid. 7). Melakukan evaluasi kinerja takmir. 8). Partisipasi jama’ah masjid dalam kontrol dan evaluasi kegiatan. Politisasi masjid hukumnya haram, karena banyak menimbulkan kemafsadatan dan kemadharatan, seperti perpecahan umat dan banyaknya ujaran kebencian.